Diantara kaum kita ada yang hobi mencaci-maki.
Rasulullah jarang membalas cacian orang. Di balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih kemuliaan.
Seorang laki-laki datang menemui Abu Bakar.Rasulullah jarang membalas cacian orang. Di balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih kemuliaan.
Tanpa ba-bi-bu lelaki tersebut mencacimaki salah seorang sahabat nabi yang sangat beliau cintai ini. Rasulullah Salallaahu alaihi wassalam
yang saat itu tengah duduk di sampingnya, tampak terheran-heran sambil tersenyum melihat Abu Bakar diam saja..
Namun ketika kata makiansemakin banyak Abu Bakar pun meladeninya. Rasulullah bangkit dengan
wajah tidak suka dengan sikap Abu Bakar itu. Beliau berdiri dan
Abu Bakar mengikutinya.
“Ya Rasulullah, tadi dia mencaci makiku namun engkau tetap duduk. Tapi
ketika kuladeni sebagian kata-katanya, engkau marah dan berdiri.
Mengapa demikian ya Rasulullah?” tanya Abu Bakar.
“Sesungguhnya bersamamu ada malaikat, kemudian dia berpaling dari padamu. Ketika
engkau meladeni perkataannya, datanglah syaitan dan aku tak sudi duduk
bersama syaitan itu,” jawab Rasul. Kemudian beliau meneruskan
nasihatnya, “Tidak teraniaya seseorang karena penganiayaan yang ia
sabar memikulnya kecuali Allah akan menambahkan kepadanya kemuliaan dan
kebesaran.” (HR. Imam Ahmad dari Abu Kabsyah Al Anmari)
Ridha
Tidak
ada suatu pun kejadian, bahkan selembar daun yang terjatuh pun,
melainkan sudah di dalam skenario Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu
pula apa pun yang menimpa kita dalam hidup keseharian. Mulai dari
peristiwa besar hingga yang kecil semua telah direncanakan oleh Allah.
Karena
itu sikap orang yang beriman dalam menghadapi segala kejadian
diterimanya dengan hati lapang dan ridha; sebagai hidangan dari Allah.
Musibah yang secara lahiriah merugikan, bagi orang yang bersabar justru
ladang mendapatkan pahala di sisi-Nya.
“Kami (Allah) akan
memberikan kepada orang- orang yang berhati sabar itu pahala menurut
amalan yang telah mereka kerjakan dengan sebaik- baiknya.” (Surat. An
Nahl: 96)
Salah satu kejadian yang mungkin sering
terjadi dalam pergaulan adalah perkataan yang tidak menyenangkan, caci
maki misalnya. Agar tidak sia-sia, menghadapi hal seperti ini perlu
sikap yang tepat. Sikap Abu Bakar yang mampu bersabar menahan diri dan
diam saja, membuat Rasul tersenyum. Namun pada saat Abu Bakar mulai
meladeni caci makian, Rasul pun menunjukkan sikap tidak menyukainya.
Padahal yang dilakukan Abu Bakar hanya meladeni sebagian kata-katanya
saja. Lalu bagaimana dengan sikap kebanyakan kita selama ini?
Boro-boro
menahan diri. Bahkan seringkali lebih emosional dan balasan spontan
yang dilancarkan justru lebih gencar dari umpan caci makiannya. Dengan
muka merah dan suara marah meledak-ledak meluncurlah kata-kata yang
lebih tajam lagi. Bukan hanya menjawab sebagian kata-kata, tetapi satu
kata malah dibalas dengan sepuluh kata. Naudhubillah.
Sikap
emosional dan kehilangan kendali seperti itu, merupakan tanda kurang
ridha dengan kejadian. Kita lupa bahwa apa yang terjadi sesungguhnya
merupakan kiriman Allah untuk menguji sikap kita. Saat emosional
seperti itu pusat orientasi bukan lagi ingin meraih ridha Allah, tetapi
sekadar melampiaskan hawa nafsu. Dar der dor yang penting terpuaskan.
Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana sikap Rasul andai bersama kita.
Yang beliau lakukan barangkali tidak hanya bangkit dan berdiri, tapi
berlari menjauh. Sebab setan yang merubung kita terlalu banyak.
Dengan
menyadari bahwa tiada kejadian yang kebetulan kecuali atas kehendak
Allah, hati akan ridha. Sikap inilah yang dibutuhkan agar kita tetap
terkendali.
Bayangkanlah bahwa kita sedang menyaksikan episode
sinetron tiga dimensi luar biasa yang diskenario oleh Allah. Nikmatilah
caci makiannya seperti sedang menyaksikan bintang yang berakting di
layar kaca. Bila mulai terpancing, ucapkan istighfar dan orientasikan
hati pada ridha Allah, tentu akan membuat pikiran lebih tenang. Dengan
suasana spiritual seperti itu malaikat yang bersama kita tetap
mendampingi.
Sikap marah-marah dan emosional, justru
menjerembabkan kita pada kenistaan. Maunya membela kehormatan, tetapi
dengan ucapan balasan yang lebih tajam justru menunjukkan kualitas
ruhani kita. Malaikat malah menyingkir dan yang datang merubung malah
setan. Tidak hanya kehilangan kehormatan di depan manusia, tetapi juga
di depan Allah dan Rasulnya.
Memilih
Seringkali
respon tindakan seseorang ditentukan oleh keadaan. Kalau yang diterima
caci maki maka reaksinya juga caci maki. “Yah, kami tidak ada pilihan
lagi kecuali membalasnya. Dia telah menghina kehormatan kami, maka kami
pun menghinanya untuk membela diri.” Demikian alasan yang dikemukakan.
Manusia
sesungguhnya tidak semata ditentukan oleh lingkungan, tetapi juga oleh
dirinya sendiri. Bahkan sebagian orang malah mampu mempengaruhi
lingkungan.
Mereka mencairkan lingkungan yang beku, memperbaiki
keadaan yang buruk. Menghadapi keadaan yang ada manusia diberi
kemampuan memilih. Saat menghadapi caci maki, seorang dapat merenungkan
dalam hati, apa tindakan terbaik yang ingin dilakukan; diam atau
membalas.
“Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan
adalah apa-apa yang menentreramkan jiwa dan hati. Dosa adalah apa-apa
yang mengusik jiwa dan meragukan hati.” (HR.Imam Ahmad)
Kita
akan dapat memilih tindakan terbaik jika dilandasi sikap ridha. Dengan
menyadari bahwa semua dari Allah akan membuat hati tetap bening dan
pikiran juga jernih. Akhirnya yang muncul tindakan terpilih.
Suara
hati yang mendorong nilai-nilai kebaikan tetap terdengar. Pikiran pun
dapat memilih kata yang paling tepat dan lisan mengucapkannya dengan
indah, tidak asal nerocos. Tentu saja akan berbeda halnya jika caci
maki dihadapi dengan sikap emosional. Hati dikuasai hawa nafsu dan
amarah sedangkan pikiran pun jadi kotor. Akhirnya yang mengalir di
lisan adalah kata-kata kotor bahkan lebih tajam lagi.
Sebenarnya,
seorang yang mencaci maki dengan kata-kata kotor tidak akan membuat
orang lain rendah kecuali merendahkan dirinya sendiri. Kata-kata kotor
yang keluar dari mulut, lebih menunjukkan siapa yang mengatakan dari
pada siapa yang dikata-katai. Kotor kata-katanya, berarti kotor pula
pikirannya. Jadi sebenarnya tanpa membalasnya, sudah cukup orang lain
menilai siapa yang sesungguhnya lebih buruk itu. Tapi bila kita
membalas caci makian itu dengan caci maki yang lebih tajam dan
berlebihan, malah menunjukkan keburukan sisi jiwa kita. Sikap
berlebihan dalam membalas itu justru membuat kita sama-sama terjerembab
bersama orang yang mencaci itu.
Hikmah
Allah
menghadapkan kita pada keadaan yang tidak kita senangi itu tentu ada
hikmahnya. Dengan sikap ridha kita dapat menjadikan caci maki sebagai
alat evaluasi diri. Tidak mudah lho melihat kekurangan diri. Dari yang
dikatakan itu mungkin ada yang tidak sesuai, tapi beberapa bagian
sebenarnya agak sesuai juga. Bahkan kalau mau jujur kita masih perlu
bersyukur; bahwa Allah masih menutupi aib-aib kita. Apa yang dikatakan
itu sebenarnya belum seberapa dari semua kekurangan kita. Dengan
demikian kita terhindar dari sikap sombong dan sok sempurna. Kita
tersadar merasa masih banyak kekurangan dan lebih terpacu lagi
memperbaiki diri.
Dicacimaki juga memberi pengalaman tak
telupakan. Ternyata kata-kata tajam itu bisa membuat hati ini terluka.
Barangkali tanpa kita sadari kita pernah mencaci maki teman atau orang
lain, dan kemudian melupakan begitu saja setelah melampiaskan. Padahal
luka hati akibat caci maki itu sulit disembuhkan.
Nah, jika kita
merasa tidak enak dicaci maki, sadarlah bahwa orang lain pun seperti
itu juga. Karenanya terdorong dari pengalaman berharga itu segeralah
bertobat dan mintalah maaf kepada orang yang pernah kau sakiti. Engkau
tidak akan bisa menanggung beban di akhirat kelak menghadapi pengadilan
Allah. Amal-amalmu habis beralih tangan pada orang lain yang kau
dzalimi itu. Sedangkan dosa-dosa orang yang kau dzalimi ditimbunkan
pada dirimu. Itulah orang yang bangkrut menurut Rasul.
Setelah
mendapatkan hikmah yang sangat besar itu, kita pun dapat lebih
berlapang dada. Caci makian yang menimpa kita itu ternyata seperti
jamu. Meski terasa pahit, ternyata dapat menyehatkan jiwa. Oleh sebab
itu kita perlu berlatih bagaimana sikap terbaik menghadapi caci makian
agar kejadian yang diskenario Allah itu tidak sia-sia. Justru menjadi
ladang kita mendapat kemuliaan dan kebesaran di sisi-Nya.
Dicontohkan
dalam sejarah; kita ketahui Rasul pun tak luput mendapatkan makian
bahkan lebih keras lagi. Penduduk Thaif yang diajaknya pada kebenaran
tidak menyambutnya dengan baik, justru menyambutnya dengan olokan,
lemparan batu dan potongan besi. Wajah, badan dan kaki beliau pun
berdarah-darah. Namun yang dilakukan beliau tidak membalasnya tapi
justru mendoakan; Allahummahdi qawmi. Innahum laa ya’lamuun.
”Ya Allah berilah petunjuk kaumku itu. Karena sesesungguhnya mereka tiada mengetahui.”
Caci
makian tidak membuat beliau terhina, malah sebaliknya membuat namanya
kian mulia dan besar. Coba bayangkan jika Rasul juga membalasnya dengan
olokan emosional yang lebih tajam, tentu akan lain ceritanya.
Memang terasa sulit membayangkan. Namun bila kita menyadari hikmah yang demikian banyak di balik cacian.
Rasanya
orang yang mencaci maki kita itu memang tak layak dibalas dengan
cacian. Karena di balik perbuatannya itu, kita berpeluang meraih
kemuliaan dan kebesaran di sisi Allah yaitu dengan bersabar.
Jadi
sudah selayaknya orang yang membukakan peluang kesadaran, dan kemuliaan
itu kita maafkan. Bahkan kita bisa mendoakan semoga dia mendapatkan
ampunan dan hidayah dari Allah menjadi lebih baik. Bukankah doa orang
yang terdzalimi makbul?
Sumber : murtadinkafirun.forumotion.net
Page Information
Title: Kemuliaan Di Balik Cacian
URL: http://meutuahboy.blogspot.com/2011/09/kemuliaan-di-balik-cacian.html
Kemuliaan Di Balik Cacian
9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Post a Comment
Tinggalkan Komentar Atau Tegur Sapa Kamu Disini.